LAPORAN PENDAHULUAN BPH
LAPORAN PENDAHULUAN BPH
(BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)
A. PENGERTIAN
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah
pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin, 2000).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah
penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson (2005).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan
prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular.
Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi
yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,2004)
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)
B. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai
sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung
pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya denganBPH adalah
proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen –
testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon
estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth
factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat
5. Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel
transit
BPH (BENIGNA
PROSTAT HIPERPLASIA)
C. TANDA DAN GEJALA
1. Gejala iritatif meliputi :
Peningkatan frekuensi berkemih
Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat
ditunda (urgensi)
Nyeri pada saat miksi (disuria)
2. Gejala obstruktif meliputi :
Pancaran urin melemah
Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung
kemih tidak kosong dengan baik
Kalau mau miksi harus menunggu lama
Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
Urin terus menetes setelah berkemih
Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi
urin dan inkontinensia karena penumpukan berlebih.
Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi
Azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi
urin kronis dan volume residu yang besar.
3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik.
Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :
Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih,
kencing tak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah
infeksi. Penderita akan mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing
malam bertambah hebat.
Derajat III : timbulnya retensi total.
Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul aliran refluk ke atas, timbul
infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat menyebabkan pielonfritis,
hidronefrosis.
D. PATOFISIOLOGI
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria
usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologi anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan. Perubahan
hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen
glandular pada prostat.
Teori-teori tentang terjadinya BPH :
1. Teori Dehidrosteron (DHT)
Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi
dehidrosteron (DHT) dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT
ke dalam inti sel yang menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan
terjadinya sintesa protein.
2. Teori hormon
Pada orang tua bagian tengah kelenjar prostat mengalami
hiperplasia yamg disebabkan oleh sekresi androgen yang berkurang, estrogen
bertambah relatif atau aabsolut. Estrogen berperan pada kemunculan dan
perkembangan hiperplasi prostat.
3. Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal ini banyak dipengaruhi oleh Growth factor. Basic
fibroblast growth factor (b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan
dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat
jinak. Proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase. b-FGF
dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi dan infeksi.
4. Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau
reinduksi dari kemampuan mesenkim sinus urogenital untuk berploriferasi dan
membentuk jaringan prostat.
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan
sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada
tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher
buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan
merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor
ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas. Adapun patofisiologi dari masing-masing
gejala yaitu :
Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi
uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh
edema yang terjadi pada prostat yang membesar.
Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama),
terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan
resistensi uretra.
Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena
detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal
dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu
urin yang banyak dalam buli-buli.
Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena
pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi
lebih pendek.
Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena
hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang
selama tidur.
Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria
(nyeri pada saat miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak
stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter,
Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan
berkembangnya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena
setelah buli-buli mencapai complience maksimum, tekanan dalam buli-buli akan
cepat naik melebihi tekanan spingter.
Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh
darah submukosa pada prostat yang membesar.
Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum
vesikal atau uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit
atau retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal ginjal.
Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di
mana sebagian urin tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media
untuk organisme infektif.
Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuri. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistiitis dan bila
terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama
kelamaan dapat menyebabkan hernia dan hemoroid.
E. PATHWAY
terlampir
Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat
adanya sel leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat
hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada
saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat
menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan
informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan
sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan.
Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10
ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi
dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat,
demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif
maka semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan
biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi
jantung dan pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung
jenis leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena,
USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat
disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya
batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga
dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta
osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat
supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran
ureter berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat
diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin
dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal
apakah terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat
/mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat
dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing
adalah untuk melihat adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding
cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah
untuk menilai residual urin
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain:
sering dengan semakin beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih,
karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan
infeksisaluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal.
(Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harusmengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan herniadan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambah keluhan iritasidan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika
urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,yang dapat menyebabkan
sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat,
2005)
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan
obstruksi, dan kondisi pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi
darurat karena ia tidak dapat berkemih maka kateterisasi segera
dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin digunakan kateter logam dengan
tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih
(sitostomi supra pubik) untuk drainase yang adekuat.
Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat
yang diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi
nokturia, menghindari obat-obat dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan
dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur
Terapi medikamentosa
- Penghambat
adrenergik a (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor pada otot
polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air
seni dan gejala-gejala berkurang.
- Penghambat
enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar
akan mengecil.
Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi
absolut untuk terapi bedah yaitu :
- Retensi
urin berulang
- Hematuri
- Tanda
penurunan fungsi ginjal
- Infeksi
saluran kemih berulang
- Tanda
obstruksi berat seperti hidrokel
- Ada
batu saluran kemih.
1. Prostatektomi
Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup.
Instrumen bedah dan optikal dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam
prostat yang kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam
irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang
menimbulakan disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard
karena pengangkatan jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat
menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah belakang ke dalam kandung kemih dan
bukan melalui uretra.
a. Prostatektomi Supra pubis.
Adalah salah satu metode
mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu insisi yang dibuat
kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
b. Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat
kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih praktis dibanding
cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Lebih jauh lagi
inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi dari
cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter
eksternal serta bidang operatif terbatas.
c. Prostatektomi
retropubik.
Adalah insisi
abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis
dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Keuntungannya adalah periode
pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih
sedikit.
Pembedahan seperti prostatektomi dilakukan untuk membuang
jaringan prostat yang mengalami hiperplasi. Komplikasi yang mungkin terjadi
pasca prostatektomi mencakup perdarahan, infeksi, retensi oleh karena
pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan disfungsi seksual. Kebanyakan
prostatektomi tidak menyebabkan impotensi, meskipun pada prostatektomi perineal
dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal. Pada kebanyakan
kasus aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu karena
saat itu fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi maka cairan seminal
mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama uin. Perubahan
anatomis pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi retrogard.
Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen
melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul
prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi
uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30
gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat
dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih
rendah di banding cara lainnya.
TURP adalah suatu
operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop,
dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan
uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan
dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan
merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas
minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak
mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan
pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan
reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis
selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan
granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika (Anonim,FK UI,2005).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran
no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan
darah dari kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah
24 jam bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam
sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan
pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah
gejala-gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan
pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek
adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan
darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi
retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati
penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun
kemudian.
Terapi invasif minimal, seperti dilatasi balon
tranuretral, ablasi jarum transuretral
I. PENGELOLAAN
PASIEN
1. Pre operasi
- Pemeriksaan
darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT, BT, AL)
- Pemeriksaan
EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
- Pemeriksaan
Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
- Persiapan
sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam. Sebelum pemeriksaan IVP
pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen puasa minimal 8 jam, dan
mengurangi bicara untuk meminimalkan masuknya udara
2. Post operasi
- Irigasi/Spoling
dengan Nacl
Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
Hari ke 4 post operasi diklem
Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila
tidak ada masalah (urin dalam kateter bening)
Hari ke 6 post operasi dilakukan aff
drain bila tidak ada masalah (cairan serohemoragis < 50cc)
- Infus
diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi selama 2 hari, bila
pasien sudah mampu makan dan minum dengan baik obat injeksi bisa diganti dengan
obat oral.
- Tirah
baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post operasi
- Dilakukan
perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi dengan betadin
- Anjurkan
banyak minum (2-3l/hari)
- DC
bisa dilepas hari ke-9 post operasi
- Hecting
Aff pada hari k-10 post operasi.
- Cek
Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
- Jika
terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan untuk berkemih,
merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih dan perdarahan dari uretral
sekitar kateter. Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat membantu
mengilangkan spasme. Kompres hangat pada pubis dapat membantu menghilangkan
spasme.
- Jika
pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan tapi tidak
duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan abdomen, perdarahan
- Latihan
perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol berkemih. Latihan
perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai kontrol berkemih.
- Drainase
diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian jernih hingga
sedikit merah muda dalam 24 jam setelah pembedahan.
- Perdarahan
merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan sejumlah bekuan biasanya
menandakan perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih gelap dan kurang kental.
Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi pada kateter sehingga balon yang
menahan kateter pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Sebelum Operasi
a. Data Subyektif
- Klien mengatakan
nyeri saat berkemih
- Sulit kencing
- Frekuensi
berkemih meningkat
- Sering terbangun
pada malam hari untuk miksi
- Keinginan untuk
berkemih tidak dapat ditunda
- Nyeri atau terasa
panas pada saat berkemih
- Pancaran urin
melemah
- Merasa tidak puas
sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
- Kalau mau miksi
harus menunggu lama
- Jumlah urin menurun
dan harus mengedan saat berkemih
- Aliran urin tidak
lancar/terputus-putus
- Urin terus
menetes setelah berkemih
- Merasa letih,
tidak nafsu makan, mual dan muntah
- Klien merasa
cemas dengan pengobatan yang akan dilakukan
b. Data Obyektif
- Ekspresi wajah
tampak menhan nyeri
- Terpasang kateter
2. Sesudah Operasi
a. Data Subyektif
- Klien mengatakan
nyeri pada luka post operasi
- Klien mengatakan
tidak tahu tentang diet dan pengobatan setelah operas
b. Data Obyektif
- Ekspresi tampak
menahan nyeri
- Ada luka post
operasi tertutup balutan
- Tampak lemah
- Terpasang selang
irigasi, kateter, infus
3. Riwayat kesehatan :
riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit keluarga,
pengaruh BPH terhadap gaya hidup, apakah masalah urinari yang dialami pasien.
4. Pengkajian fisik
a. Gangguan dalam berkemih seperti
- Sering berkemih
- Terbangun pada
malam hari untuk berkemih
- Perasaan ingin
miksi yang sangat mendesak
- Nyeri pada saat
miksi, pancaran urin melemah
- Rasa tidak puas
sehabis miksi
- Jumlah air
kencing menurun dan harus mengedan saat berkemih
- Aliran urin tidak
lancar/terputus-putus, urin terus menetes setelah berkemih.
- Nyeri saat
berkemih
- Ada darah dalam
urin
- Kandung kemih
terasa penuh
- Nyeri di
pinggang, punggung, rasa tidak nyaman di perut.
- Urin tertahan di
kandung kencing, terjadi distensi kandung kemih
b. Gejala umum seperti keletihan, tidak nafsu
makan, mual muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik
c. Kaji status emosi : cemas, takut
d. Kaji urin : jumlah, warna, kejernihan, bau
e. Kaji tanda vital
5. Kaji pemeriksaan
diagnostik
- Pemeriksaan
radiografi
- Urinalisa
- Lab seperti kimia
darah, darah lengkap, urin
6. Kaji tingkat pemahaman
dan pengetahuan klien dan keluarga tentang keadaan dan proses penyakit,
pengobatan dan cara perawatan di rumah.
a. Pre operasi
- Nyeri
akut berhubungan dengan agen injuri biologi
- Cemas berhubungan
dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi proses bedah.
- Ketidakseimbangan
nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan factor biologi
- Perubahan
pola eliminasi berhubungan dengan spasme kandung kemih.
b. Post operasi
- Nyeri
akut berhubungan agen injuri fisik (insisi sekunder pada TURP)
- Resiko
infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan
- Kurang
pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan b.d kurangnya paparan
informasi.
- Defisit
perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi pasca operasi.
- Disfungsi
seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten dari TURP
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, M; Maas, M; Moorhead, S. 2000. Nursing
Outcomes Classification (NOC). Mosby: Philadelphia
Mansjoer, A, et all, 2000, Kapita Selekta Kedokteran,
Jilid I, Media Aesculapis, Jakarta
McCloskey, J dan Bulechek, G. 2000. Nursing
Interventions Classification (NIC). Mosby: Philadelphia
Nanda (2000), Nursing Diagnosis: Prinsip-Prinsip dan Clasification,
2001-2002, Philadelphia, USA.
Smeltzer, S.C, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth, Vol 2, EGC, Jakarta
Anonim. 2012. Diakses 5 Mei 2012 pada http://www.scribd.com/doc/54979478/ASKEP-BPH
Anonym. 2010. http://asuhankeperawatans.blogspot.com/2010/10/asuhan-keperawatan-benigna-prostat.html
Comments