Epidemiologi virus AVIAN influenza
1. Epidemiologi virus AVIAN di beberapa negara dan provinsi Indonesia
Diawali pada tahun 1918 dunia dikejutkan oleh wabah pandemi yang disebabkan virus influenza, yang telah membunuh lebih dari 40.000 orang, dimana subtipe yang mewabah saat itu adalah virus H1N1 yang dikenal dengan “Spanish Flu”. Tahun 1957 kembali dunia dilanda wabah global yang disebabkan oleh kerabat dekat virus yang bermutasi menjadi H2N2 atau yang dikenal dengan “Asian Flu” yang telah merenggut 100.000 jiwa meninggal. Pada tahun 1968, virus flu kembali menyebabkan wabah pandemi dengan merubah dirinya menjadi H3N2. Mutan virus yang dikenal dengan “Hongkong Flu” ini telah menyebabkan 700.00 orang meninggal dunia. Saat ini dunia kembali dikagetkan dengan merebaknya avian influenza H5N1 yang pertama kali menyerang dan menewaskan 6 orang penduduk Hongkong pada tahun 1997 dari 18 orang yang terinfeksi (Horimoto T, Kawaoka Y. 2001).
Kasus penularan langsung virus AI subtipe H7 dari unggas ke manusia pertama kali dilaporkan pada tahun 1996 di Inggris, dimana virus H7 dapat diisolasi dari swab konjungtiva seorang wanita yang memiliki riwayat kontak dengan itik (Kurtz et al., 1996). Sejak tahun 2002, lebih dari 100 kasus infeksi AI subtipe H7 (LPAI /HPAI) pada manusia telah dilaporkan di Amerika, Kanada, Italia, dan Belanda (Belseret al., 2009). Namun, hanya satu kasus H7 yang berakibat fatal pada manusia, yaitu infeksi subtipe H7N7 HPAI yang mengakibatkan kematian seorang dokter hewan yang memiliki riwayat kontak dengan unggas saat terjadi wabah HPAI di peternakan-peternakan unggas komersial di Belanda tahun 2003 (Fouchier et al., 2004). Hal ini menunjukkan bahwa virus AI subtipe H7Nx memiliki kemampuan pengikatan reseptor sel pada manusia, namun sifat virulensinya tidak separah infeksi subtipe H5N1 HPAI. Setelah kasus infeksi fatal H7N7 pada manusia di Belanda tahun 2003, belum ada laporan kasus infeksi AI subtipe H7 yang mengakibatkan penyakit akut dan parah disertai kematian pada manusia. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya sejak 19 Februari sampai 1 April 2013, dunia dikejutkan dengan adanya laporan wabah penyakit pada manusia dengan gejala gangguan pernafasan dan pneumonia parah dengan jumlah total 24 kasus, 7 diantaranya meninggal, di empat provinsi di timur China (Shanghai, Zhejiang, Jiangsu dan Anhui) (ECDC, 2013). Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sampel darah, sputum dan swab trakhea dengann teknik polymerase chain reaction (PCR) ditemukan positif virus influenza tipe A tetapi negatif virusvirus AI H5N1, SARS dan Corona. Pada pemeriksaan lanjutan dengan teknik sekuensing DNA menunjukkan bahwa isolat-isolat virus tersebut memiliki homologi genetik yang tinggi dengan virus influenza A subtipe H7 (94.8%) dan subtipe N9 (94.2%) yang diisolasi dari beberapa spesies burung dan unggas, sehingga disimpulkan bahwa agen penyebab wabah penyakit ini adalah virusAI subtipe baru H7N9 (Wen and Klenk, 2013). Wabah penyakit ini terus berlanjut dan semakin meluas hingga delapan propinsi China di bagian timur (Shandong, Henan, Anhui, Jiangsu, Zhejiang Fujian, Jiangxi, dan Hunan), dua kota (Shanghai dan Beijing) dan 1 kota di Taiwan dengan total kasus yang dilaporkan sampai 29 April 2013 adalah 126 orang terkonfirmasi positif terinfeksi H7N9, 24 diantaranya meninggal (19%) (CDC, 2013). Update terakhir WHO (2013b) pada 29 Mei 2013 menunjukkan bahwa dari 132 kasus positif H7N9, 37 diantaranya meninggal atau dapat dikatakan kurang lebih sepertiga penderita/pasien H7N9 mengalami kematian.
2. Patofisiologi tentang avian influenza
Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel hospes setelah terjadi penempelan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di permukaan sel hospesnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan dengan menggunakan mesin genetik dari sel hospesnya, virus dapat bereplikasi membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat menginfeksi kembali sel-sel disekitarnya. Dari beberapa hasil pemeriksaan terhadap spesimen klinik yang diambil dari penderita ternyata avian influenza H5N1 dapat bereplikasi di dalam sel nasofaring (Peiris JS,et.al. 2004), dan di dalam sel gastrointestinal (de Jong MD, 2005, Uiprasertkul M,et.al. 2005). Virus H5N1 juga dapat dideteksi di dalam darah, cairan serebrospinal, dan tinja pasien (WHO,2005). Fase penempelan (attachment) adalah fase yang paling menentukan apakah virus bisa masuk atau tidak ke dalam sel hospesnya untuk melanjutkan replikasinya. Virus influenza A melalui spikes hemaglutinin (HA) akan berikatan dengan reseptor yang mengandung sialic acid (SA) yang ada pada permukaan sel hospesnya. Ada perbedaan penting antara molekul reseptor yang ada pada manusia dengan reseptor yang ada pada unggas atau binatang. Pada virus flu burung, mereka dapat mengenali dan terikat pada reseptor yang hanya terdapat pada jenis unggas yang terdiri dari oligosakharida yang mengandung N-acethylneuraminic acid α-2,3-galactose (SA α-2,3- Gal), dimana molekul ini berbeda dengan reseptor yang ada pada manusia. Reseptor yang ada pada permukaan sel manusia adalah SA α- 2,6-galactose (SA α-2,6-Gal), sehingga secara teoritis virus flu burung tidak bisa menginfeksi manusia karena perbedaan reseptor spesifiknya. Namun demikian, dengan perubahan hanya 1 asam amino saja konfigurasi reseptor tersebut dapat dirubah sehingga reseptor pada manusia dikenali oleh HPAI-H5N1. Potensi virus H5N1 untuk melakukan mutasi inilah yang dikhawatirkan sehingga virus dapat membuat varian-varian baru dari HPAI-H5N1 yang dapat menular antar manusia ke manusia (Russel CJ and Webster RG.2005, Stevens J. et. al. 2006).
Comments